LAPORAN HASIL PRESENTASI
“Kecerdasan Emosi dan Perilaku Agresi Guru
SD”
Disusun untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu : Ulfa Amalia, MA
Disusun
oleh:
Ayu
Fitri A Santi Iswandari
Fajrin
Siti Fauziah Indra Sukmana
Dyah
Dwi Untari Ambarwati
Rossita
Novia R Rina Handayani
Ninik
Puji A Muhammad Akbar Fauzi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA
2012 / 2013
I.
Identitas
Jurnal
a. Judul Jurnal :
Kecerdasan Emosi dan
Perilaku Agresi pada Guru SD
b.
Peneliti : Tintin Lasmini dan Ranni Merli Safitri (2008)
II.
Pembahasan
a. Pengertian
Kecerdasan Emosi
Peter Salovey (1990),
kecerdasan emosi merupakan himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang
melibatkan kemapuan padan orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan
informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.
Goleman (1997),
kecerdasan emosi adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam
memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan
menunda kepuasan serta mengatur keadaaan jiwa.
Cooper & Sawaf
(1998), kecerdasan emosi merupakan kemamuan untuk merasakan, memahami dan
secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai seumber energi dan
pengaruh yang manusiawi.
Howes dan Herald
(1999), kecerdasan emosi adalah komponen yang membuat seseorang menjadi pintar
penggunakan emosi.
Hermoko (2005),
kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengenali, mengelola dan
mengekspresikan dengan tepat termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali
emosi orang lain dan membina hubungan denga orang lain.
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia edisi ke-3, kecerdasan emosi merupakan kecerdasan yang
berkenaan dengan hati dan kepedulian antar sesama manusia, makhluk lain dan
alam sekitar (Pusat Bahasa Depdiknas, 2007:209)
b. Pengertian
Agresi
Segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti
orang lain secara fisik maupun mental. Menurut Murray, Agresi merupakan sebagai
suatu alat untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, menyerang, membunuh atau
menghukum orang lain.
Baren & Richardson, agresi merupakan suatu bentuk
siksaan yang diarahkan secara sengaja dai berbagai bentuk kekerasan terhadap
orang lain.
Buss ( 1995 ), menjelaskan bahwa ada tiga bentuk
perilaku agresi :
1.
Agresi fisik :
memukul, menampar, menendang, menggigit
2.
Agresi verbal :
mencela, memaki, menghina, menertawakan
3.
Agresi non verbal : agresi non verbal di bedakan menjadi
dua, yaitu kemarahan dan kecurigaan. Kemarahan adalah reaksi yang langsung
muncul dan bersifat sementara dengan diliputi ketegangan psikologis. Munculnya
kemarahan biasanya disertai dengan kecurigaan.
c. Hasil
Penelitian
Hasil uji korelasi Product Moment antara variabel
kecerdasan emosi dengan variabel perilaku agresi pada guru SD yang menjadi
subjek penelitian diperoleh koefisien korelasi sebesar -0,864 dan tingkat
signifikansi senilai 0,000. Hasil uji korelasi ini menunjukkan bahwa hipotesis
penelitian di terima, bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan
perilaku agresi kepada anak didiknya. Sebaliknya semakin rendah kecerdasan
emosi yang dimiliki guru maka cenderung semakin tinggi perilaku agresi yang
ditunjukkan.
Berdasarkan hasil uji korelasi penelitian ini ditemukan
sembangan efektif sebesar 74,6%, hal inu menunjukkan bahwa kecerdasan emosi
cukup berperan dalam pembentukan perilaku agresi. Ini berarti tidak menutup
kemungkinan ada faktor lain selain kecerdasan emosi yang ikut mempengaruhi
perilaku agresi, yaitu lingkungan, penguatan, stress, pengaruh obat-obat
terlartang (alkohol), media masa, deindividuasi.
Hasil penelitian ini mendukung pendapat Goleman (2003),
bahwa kecerdasan emosi merupakan salah satu kunci terpenting bagi individu
dalam pembentukkan perilaku individu. Kecerdasan dapat mempengaruhi sikap dan
perilakunya terbentuk oleh kemampuan individu dalam mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina
hubungan baik dengan orang lain.
Berdasarkan hasil skor kategorisasi kecerdasan emosi
dapat diketahui bahwa mayoritas guru SD yang menjadi subjek penelitian memiliki
kecerdasan emosi yang rendahnya dengan presentase 52,5% (32 orang). Menurut
Goleman (2003) menambahkan apabila individu merasakan suasana hati yang tidak
enak seperti, sedih, kecewa, kesal dan merasa di kuasai oleh emosinya sendiri
maka individu tidak mampu untuk
melepaskan diri dari emosi yang menguasainya.
Menurut Davidoff(1991), bahwa frustrasi selalu
diasosiasikan dengan keadan emosional yang tidak menyenangkan. Berkowitz (2003)
menambahkan bahwa semua perasaan negstif atau perasaan tidak enak merupakan
dorongan dasar untuk berperilaku agresi. Hal ini di dukung Dollard dan Miller
(dalam Koeswara, 1998), yang mengaitkan perilaku agresi dengan frustrasi dan
mengannggap perilaku agresi adalah suatu bentuk reaksi terhadap frustrasi.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan perilaku agresi yang dilakukan
guru SD yang menjadi subjek penelitian. Kurangnya kecerdasan emosi dikarenakan
subjek mengalami kesulitan dalam mengenal emosi diri, mengontrol emosi diri,
memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang
lain. Hal ini menyebabkan subjek tidak mampu bertahan dalam menghadapi
frustrasi sehingga memunculkan perilaku agresif.
III.
Kasus
Solo-
Sejumlah kasus kekerasan guru terhadap siswa terjadi di Soloraya. Dari
pemberitaan di HArian Umum SOLOPOS, setidaknya ada tiga kasus dalam pekan-pekan
terakhir ini.
Di
Wonogiri, seorang murid SMP mengaku dijambak atau ditarik rambutnya oleh
gurunya. Ini terjadi karena murid menirukan gaya rambut PUNK. Kedua, di Colomadu ada murid yang diborgol oleh gurunya,
karena si murid diduga mencuri jambu. Sedangkan, ketiga di Solo ada siswa yang
di duga ditempeleng oleh gurunya. Bahkan, kasus ini dilaporkan ke pihak kepolisian.
Memang
memprihatinkan, karena semestinya persoalan ini tidak terjadi. Selain itu, hal
tersebut dapat dicegah bisa menahan diri. Tapi, apa boleh buat. Semua sudah
terjadi dan hal ini tentu saja menimbulkan sejumlah pertanyaan. Tantangan guru
mengajar kini semakin berat. Seorang guru yang berniat ingin “mendisiplinkan”
siswa kadang terjebak menjadi kekerasan. Di samping itu, para siswa juga
dihadapkan pada berbagai perubahan yang diluar pemikiran gurunya.
Bagaimana
menurut Anda? Mengapa kekerasan di sekolah kerap kali muncul? Apakah murid
sekarang “lebih bandel” sehingga muncul sikap yang terlalu “keras” untuk
mendisiplinkannya? Kira-kira bagaimana mencegahnya agar hal itu tidak terulang?
IV.
Analisis
Menurut pendapat
kami, artikel ini menarik sekali apalagi dari segi psikologi pendidikan. Namun
sayangnya, penulis terlihat condong memihak kepada tenanga pendidik. Meskipun
dampak sangsi hukum diberatkan kepada sang tenaga pendidik, seharusnya tenanga pendidik
tersebut tidak perlu menggunakan kekerasan fisik maupun verbal.
Karena akan berdampak
pada psikis korban yang pada kasus ini adalah anak-anak yang masih perlu
bimbingan dan perlindungan. Bukan berarti orang dewasa pun tidak memerlukan hal
tersebut, namun tingkat psikis dan pemikirannya berbeda antara anak-anak dan
dewasa.
Perlu
pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kecerdasan emosi para tenaga pendidik,
agar dapat mengontrol emosinya. Selain pelatihan-pelatihan terhadap para tenaga
pendidik, menurut kami juga perlu memerlukan pendekatan kepada para siswa agar
tidak terbawa oleh pengaruh-pengaruh lingkungan yang buruk. Tetap harus
mengutamakan moral yang baik.
Jika tenaga pendidik
memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, otomatis mereka pun memiliki moral yang
baik juga. Dan jika para siswa memiliki moral yang baik juga, pastinya agresi
pun tidak akan terjadi. Hal ini perlu bantuan dan dukungan dari pihak-pihak
terkait, seperti keluarga, lingkungan, pemerintah dan yang paling penting
kesadaran diri pada masing-masing individu.
V.
Kesimpulan
Dari
uraian diatas,
masih banyak tenaga pendidik
di sekitar kita yang menyalah gunakan wewenangnya sebagai pendidik. Ada yang
beragresi fisik, verbal maupun non verbal.
Agresi tidak akan terjadi apabila kecerdasan emosi, moral dan kesadaran
diri dari kedua belah pihak tinggi, serta lingkungan yang mendukung.
Berdasarkan
penelitian dan pembahasan yang disampaikan dalam jurnal ini maka dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan perilaku
agresi pada guru SD yang menjadi subjek penelitian terhadap siswanya. Semakin
tinggi kecerdasan emosi yang dimiliki subjek maka cenderung semakin rendah
subjek untuk melakukan perilaku agresi. Sebaliknya semakin rendah kecerdasan
emosi yang dimiliki guru maka cenderung semakin tinggi perilaku yang
ditunjukkan. Sumbangan kecerdasan emosi terhadap perilaku agresi sebesar 74,6
%.
VI.
Lampiran
Pertanyaan
1.
a.
Apa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi?
b. Apa yang dilakukan oleh
Depdiknas untuk mengatasi kasus tersebut?
c.
2.
a.
Bagaimana meningkatkan kecerdasaan emosi seorang guru bila dia memiliki EQ
rendah?
b.
Apa yang harus dilakukan guru untuk meningkatkan kecerdasan emosi?
c.
Bagaimana kriteria guru profesional
3.
a.
Faktor apa saja yang dapat mengontrol emosi pada seorang guru ?
b.
Apakah seorag guru harus mendidik muridnya dengan kekerasan?
c.
Bagaimanakah sikap guru yang profesional jika mendapati murid yang kenakalannya
kelewat batas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar